Oh, Palangka Raya!
OLEH BINTANG SARIYATNO
Palangka Raya adalah ibukota dari
Kalimantan Tengah, walaupun tergolong kota kecil tapi damai dan tenang.
Palangka Raya punya banyak keunikan, contoh: bundarannya, sungainya, hutannya
yang masih tergolong banyak dari ibukota pada umumnya. Tapi hidup di Palangka
Raya itu enak, contohnya; jalan tidak ada yang macet, orangnya ramah-ramah,
tidak ada polusi udara, aman, dan nyaman.
jalanjalanterus.files.wordpress.com/2007/10/jembatan.jpg
Palangka Raya dulunya adalah
sebuah desa yang bernama desa Pahandut, dan karena ada pemekaran provinsi. Pada
awalnya Kalimantan Tengah menjadi satu provinsi dengan Kalimantan Selatan.
Karena masyarakat Kalimantan Tengah ingin untuk mengatur dirinya sendiri, maka
Kalimantan Tengah pun berpisah dari Kalimantan Selatan.
Palangka Raya resmi menjadi
ibukota provinsi Kalimantan Tengah pada tanggal 17 Juli 1957. Berdirinya
Palangka Raya diresmikan oleh Presiden pertama RI, yakni Bapak Ir. Soekarno.
Walaupun kotanya tidak ramai seperti di Pulau Jawa, tapi itulah keunikannya
kota Palangka Raya.
Kenapa unik?
Palangka Raya itu merupakan salah
satu ibukota di Indonesia yang di tengah kotanya dialiri oleh sungai besar bernama
Sungai Kahayan. Sungai Kahayan layaknya Sungai Musi di Sumatra Selatan dan
banyak menyediakan kebutuhan bagi masyarakat di sekitar. Hampir semua penduduk
yang hidupnya di sekitar bantaran Sungai Kahayan rata-rata mempunyai profesi
sebagai nelayan atau hidup sebagai penambang emas. Di pinggir sungai Kahayan
banyak terdapat rumah-rumah terapung atau yang kata masyarakat sekitar sering
disebut lanting. Pada bagian bawah dari lanting biasannya digunakan oleh
penduduk untuk tambak atau tempat memelihara berbagai jenis ikan. Contohnya:
ikan Tombro (Cyprinus carpio), dll.
Semua kegiatan sehari-hari
masyarakat sangat bergantung pada aliran Sungai Kahayan, sehingga sungai ini
memiliki nilai tersendiri bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai.
Jembatan Kahayan juga sering digunakan oleh masyarakat sekitar untuk tempat
santai-santai sambil menunggu malam (matahari terbenam). Tapi, ada unik dari
Jembatan Kahayan, yaitu pasti dijaga oleh polisi jika mendekati pengumuman
kelulusan anak SMA atau sederajat. Takutnya, ada yang nekat hendak mengakhiri
hidupnya jika tidak lulus Ujian Nasional.
Catatan: tulisan ini disadur dari
blog saya.
* foto diambil dari
jalanjalanterus.wordpress.com
Diposting oleh roemah boenga di
20.02 Tidak ada komentar:
Label: KALIMANTAN Tengah
DAYAK
OLEH BINTANG SARIYATNO
Jika mendengar sebutan kata Dayak
pasti akan teringat akan nama sebuah suku yang hidup dan menetap di pulau
Kalimantan. Suku Dayak adalah nama suku yang memiliki budaya yang bersifat
daratan bukan budaya maritim. Budaya daratan yang dimaksud disini adalah sebuah
budaya yang hampir di setiap segi kehidupan suku tersebut dilakukan di daratan
bukan di daerah pesisir apalagi di lautan seperti budaya maritim. Hal itu dapat
dilihat dari kegiatan sehari-harinya suku Dayak, seperti berburu, bertani, dan
berkebun.
www.kualalumpurcentral.com/Kuala%20Lumpur%20National%20Museum%20Dayak%20Head%20Hunter%20from%20Sarawak.jpg
Kata Dayak menurut R. Sunardi dan
O. K. Rahmat, keduanya menyatakan bahwa Dayak adalah sebuah kata untuk
menyatakan suatu kelompok yang tidak menganut agama Islam dan hidup menetap di
pedalaman Kalimantan. Istilah ini juga yang diberikan oleh bangsa Melayu yang
hidup di daerah pesisir Kalimantan yang berarti gunung. Bangsa Melayu pada
waktu itu adalah sekelompok masyarakat yang tidak lain dan tidak bukan adalah
masyarakat yang berasal dari daerah Melayu dan berbahasa Melayu pula. Tetapi
akan lain pengertiannya jika yang disebut orang Melayu adalah orang Dayak yang
sudah memeluk agama Islam.
Jika dilihat dari pandangan orang
Dayak sendiri, yang disebut sebagai orang Melayu adalah sekelompok orang yang
berasal dari daerah Melayu dan para pendatang lain yang berdatangan ke
Kalimantan, kecuali kelompok Tionghoa, yang mendiami Kalimantan. Orang-orang
Melayu mengatakan bahwa Dayak itu berarti orang gunung. Tidak ada kamus atau
para ahli yang menyatakan bahwa kata Dayak itu berarti orang gunung, hal itu
disebabkan karena sebagian besar dari orang Dayak menetap di daerah hulu sungai
dan topografi tanahnya bergunung-gunung tetapi tidak berarti orang Dayak adalah
orang gunung. Di samping nama Dayak ada juga istilah Dyak. Istilah Dyak ini
diberikan oleh orang Inggris dulu kepada suku-suku Dayak di Kalimantan Utara
(Malaysia).
bolaeropa.kompas.com/photos/MATA%20AIR/5balian.jpg
Suku Dayak yang Menetap di pulau
Kalimantan itu tersebar di seluruh bagian Kalimantan dan hidup tersebar-sebar,
di daerah hulu sungai, di daerah yang tofografinya gunung-gunung,
lembah-lembah, dan di kaki bukit. Untuk menyebut jati diri mereka, orang Dayak
biasanya memakai nama aliran sungai besar yang daerah pesisirnya mereka diami.
Misalnya orang Dayak yang mendiami daerah pesisir sungai Kahayan, mereka
menyebut jati diri mereka sebagai uluh Kahayan (orang Kahayan). Ada uluh
Katingan,uluh Barito, dan lain sebagainya.
Di antara orang-orang Dayak itu
sendiri, ada sekelompok orang yang berkeberatan memakai kata Dayak sehingga
muncullah istilah yang lain, yairu Daya. Istilah Daya ini sangat populer di
daerah Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Kata Dayak dan Daya sebenarnya
merujuk pada satu suku saja, yaitu suku Dayak. Dan dalam bahasa Dayak Ngaju
kedua kata itu merupakan sebuah kata sifat yang menunjuk pada suatu kekuatan.
Dalam bahasa Sangen kata Dayak dan Daya itu berarti bakena (gagah).
Catatan: tulisan ini disadur dari
blog saya.
* beberapa bagian dari
"Encyclopoedie Nederlandsch Indie Op Het Woord Dayak", foto dari
kualalumpurcentral.com dan kompas.com
Diposting oleh roemah boenga di
19.56 Tidak ada komentar:
Label: KALIMANTAN Tengah
Bahasa Dayak yang Mulai Pudar
OLEH MARVY FERDIAN A. SAHAY
Pada awalnya, dalam lingkupan
sosial masyarakat Dayak Kalimantan Tengah, bahasa yang digunakan adalah bahasa
Dayak. Dalam hal ini terdapat beberapa macam bahasa Dayak, seperti bahasa Dayak
Ngaju, bahasa Dayak Maanyan, Dusun, Bakumpai, dan lainnya. Dari beberapa jenis
bahasa tersebut, bahasa Dayak Ngaju boleh dikatakan adalah bahasa yang paling
populer di Kalimantan Tengah. Kata populer disini dalam artian bahwa hampir
kebanyakan masyarakat Kalimantan Tengah, baik dari hulu ke hilir, dari barat ke
timur di seluruh wilayah Kalimantan Tengah mengerti bahasa Dayak Ngaju. Boleh
dikatakan bahwa bahasa Dayak Ngaju merupakan bahasa pengantar (lingua franca)
di Kalimantan Tengah.
Tapi seiring dengan berjalannya
waktu, penggunaan bahasa Dayak Ngaju sebagai bahasa pengantar semakin
berkurang, khususnya di kalangan generasi muda. Penggunaan bahasa Dayak bahkan
kalah dengan penggunaan bahasa Banjar yang notabene adalah bahasa pengantar
provinsi tetangga (Kalimantan Selatan). Fenomena ini sangat dominan terlihat
dalam kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat Kalimantan Tengah. Sebagai
contoh, dalam sebuah lingkungan sekolah, jelas sekali diketahui bahwa hampir
90% warga sekolah berinteraksi menggunakan bahasa Banjar, entah itu antar
murid, antar guru, atau guru dan murid. Padahal jelas-jelas mayoritas warga
sekolah adalah orang asli Dayak, tetapi ironisnya yang menggunakan bahasa Dayak
hanya segelintir orang saja.
Dalam fenomena ini, saya melihat
adanya beberapa faktor yang mempengaruhi lunturnya pemakaian bahasa Dayak dalam
kehidupan sosial masyarakat di dalamnya. Faktor-faktor tersebut, antara lain:
Kurangnya kemauan dari generasi
muda Dayak untuk mempelajari bahasa Dayak.
Adanya stereotif di kalangan
masyarakat, khususnya dari kalangan anak muda bahwa bahasa Dayak itu tidak
mencerminkan suatu kemodernan.
Kurangnya penghargaan dari
masyarakat terhadap bahasa daerahnya sendiri, dalam hal ini bahasa Dayak.
Bahasa Dayak tidak 'mendominasi'
pasar. Dalam suatu bahasan ilmu antropologi dijelaskan bahwa, bahasa yang
mendominasi suatu daerah awalnya adalah bahasa yang mendominasi dalam
lingkungan pasar di daerah tersebut. Sebagai contohnya, di Lampung bahasa
pengantarnya adalah bahasa Padang, karena para pedagang di pasar didominasi
oleh para pendatang dari Padang. Hal ini juga terjadi di Kalimantan Tengah,
mayoritas pedagang yang berjualan di pasar adalah dari suku Banjar, maka
otomatis mereka berinteraksi dengan sesama pedagang atau dengan pembeli
menggunakan bahasa Banjar, yang kemudian terbawa hingga ke lingkungan di luar
pasar.
Sebenarnya tidak sulit untuk
mengembalikan budaya berbahasa Dayak. Hanya diperlukan kesadaran dari setiap
individu masyarakat. Toh, tidak ada ruginya kita berbahasa Dayak. Tidak ada itu
stereotif “tidak gaul”, atau gengsi berbahasa Dayak. Karena bahasa pengantar
masyarakat Dayak sekarang pun sebenarnya adalah bahasa daerah. Untuk itu,
marilah kita biasakan berbahasa Dayak, paling tidak dari lingkup terkecil
seperti keluarga. Mari lestarikan budaya leluhur kita. Ayu itah habasa Dayak!
Diposting oleh roemah boenga di
19.52 Tidak ada komentar:
Label: KALIMANTAN Tengah
Bahasa Nasional[is] dan
Kebudayaan
OLEH RUDY GUNAWAN
Momen yang disebut sebagai
"Sumpah Pemuda" memang telah lewat. Ada hal yang menarik terkait
dengan momen tersebut, sebagaimana adanya dengan fenomena-fenomena mutakhir:
tak lain ialah bahasa.
Momen "Sumpah Pemuda"
menyinggung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, selain menyoal bangsa
dan tanahair yang satu. Momen tersebut tahun ini sedikit-banyak mengangkat
persoalan bahasa terkait dengan "sengketa kebudayaan" antara
Indonesia dan Malaysia, fenomena "bahasa alay" di kalangan generasi
internet, serta "bahasa gado-gado" yang memakai berbagai macam bahasa
dalam satu kalimat (seringkali menyisipkan bahasa Inggris dalam dialog berbahasa
Indonesia), juga masalah-masalah klasik seperti berkurangnya pemakaian bahasa
daerah dan punahnya beberapa bahasa daerah karena tidak ada lagi penutur
aselinya.
Dari fenomena-fenomena di atas,
salah satu wacana yang paling menonjol adalah bahasa Indonesia versus bahasa
daerah atau bahasa lokal. Satu pihak mengklaim bahwa penggunaan bahasa
Indonesia —entah sesuai EYD atau tidak— menandakan rasa nasionalisme yang
tinggi, pihak lain ada yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah tidak
aseli Indonesia tapi hampir semuanya berupa serapan dari berbagai bahasa
[asing] (lihat Alif Dasya Munsyi alias Remy Sylado, 2003: 9 dari 10 Kata Bahasa
Indonesia adalah Asing), dan ada pula yang menggalakkan kampanye mengenai
penggunaan bahasa daerah sebagai wujud pelestarian kebudayaan.
Mengenai perihal ini saya
kurang-lebih sependapat —walau di lain pihak juga mengkritisi beberapa bagian—
dengan guru saya, Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam salah satu tulisannya.
Izinkan saya untuk mengetik ulang petikan [bagian akhir] dari tulisan beliau
tersebut, yang berjudul "Etnolinguistik: Beberapa Bentuk Kajian",
lebih tepatnya sub-bab "Etnolinguistik: Artinya Bagi Indonesia"
bertarikh 1997.
***
Etnolinguistik: Artinya Bagi
Indonesia
Berbagai contoh yang telah saya
kemukakan di atas cukup kiranya untuk membuka mata kita akan pentingnya studi
etnolinguistik bagi kita di Indonesia. Kita ingat bahwa salah sebuah slogan
yang masih tetap penting hingga kini adalah slogan "melestarikan
kebudayaan". Slogan ini memang sangat menarik dan memang layak disetujui.
Tetapi tampaknya hanya sedikit orang yang memikirkan betul-betul bagaimana hal
ini bisa dilakukan. Di sinilah etnolinguistik dapat memainkan peranannya yang
sangat penting.
Jika kita setuju bahwa bahasa
adalah sistem simbol yang teramat penting dalam kehidupan dan perkembangan
kebudayaan manusia; bahwa dalam bahasalah tersimpan khasanah pengetahuan suatu
masyarakat atau suku bangsa; bahwa mengenai bahasalah sebenarnya orang
"memandang" lingkungannya; kita tentunya akan setuju bahwa pelestarian
kebudayaan dalam bentuknya yang paling konkret tidak lain adalah pelestarian
bahasa-bahasa lokal di seluruh kawasan Indonesia. Pandangan ini mungkin akan
segera membuat banyak orang berkata "itu suatu hal yang mustahil".
Oleh karena itu, perlu dijelaskan lebih lanjut, apa arti melestarikan bahasa
lokal tersebut.
Pelestarian bahasa-bahasa lokal
di sini tidaklah harus diartikan sebagai upaya untuk mempertahankan eksistensi
bahasa-bahasa tersebut, artinya orang dipaksa untuk menggunakan bahasa
daerahnya dalam kehidupan sehari-hari sebab hal semacam itu tidak akan mungkin
dilakukan. Misalnya, orang boleh saja tidak bersedia belajar bahasa Indonesia
atau bahasa Inggris, tetapi dia akan merasakan sendiri bahwa ketidakmampuannya
menggunakan bahasa-bahasa tersebut akan membuatnya tidak mampu bersaing dalam
mencari pekerjaan dengan mereka yang menguasai bahasa-bahasa tersebut. Oleh
karena itu, pelestarian bahasa lokal tidak harus diartikan bahwa bahasa
tersebut harus digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Pelestarian dalam konteks ini
dapat diartikan sebagai segala upaya untuk mendeskripsikan berbagai bahasa
lokal di Indonesia dengan segala seluk-beluknya, mulai dari soal tata bahasa,
morfologi, semantik, hingga fonologinya. Pendokumentasian bahasa ini
kelihatannya memang tidak begitu penting, tetapi sebenarnya akan sangat banyak
memberikan manfaat jika kita memang menyadari manfaatnya serta dapat memetik
manfaat tersebut. Manfaat ini tidak hanya akan dipetik oleh ahli-ahli bahasa,
yang akan dapat menggunakannya untuk memperkaya khasanah bahasa Indonesia,
tetapi juga akan dapat dipetik oleh para ahli ilmu pengetahuan yang lain.
Sebagai contoh, dengan
menganalisis berbagai bidang pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat
lewat bahasa mereka, kita akan dapat mengetahui berbagai pandangan hidup mereka
yang secara implisit ada di balik bahasa, yang tidak dapat diungkapkan oleh
pemilik bahasa itu sendiri. Dengan mengetahui pandangan hidup yang implisit
ini, paling tidak kita akan dapat memahami cara pandang mereka serta berbagai
perilaku mereka yang berdasarkan pandangan hidup tersebut. Dengan begitu pula,
kita akan dapat menghargai dan memberikan toleransi pada mereka.
Lebih lanjut dengan mengetahui
budaya suatu masyarakat dari bahasa yang mereka miliki, serta penguasaan atas
bahasa mereka, kita akan dapat melakukan dialog dengan para pendukung
kebudayaan tersebut. Dari dialog ini akan tercipta suatu kerangka berpikir
bersama, yang akan menjadi kerangka acuan bersama dalam kehidupan sehari-hari,
dan ini akan mengurangi kemungkinan timbulnya salah pengertian, yang akan dapat
membawa kita pada konflik yang membahayakan kehidupan kita sendiri.
Sayang sekali, bahwa hal semacam
ini masih belum sepenuhnya disadari oleh banyak warga masyarakat kita. Banyak
orang masih menganggap bahwa persoalan bahasa akan dapat terselesaikan dengan
sendirinya asalkan sudah ada bahasa nasional; konflik dan kericuhan akan
berkurang bilamana masalah ekonomi dapat terpecahkan; salah pengertian dan
konflik yang diakibatkannya dapat dicegah bilamana orang semakin sadar akan
agamanya, semakin tinggi pendidikannya, dan sebagainya. Mereka yang mengikuti
pandangan semacam ini lupa bahwa semua itu akhirnya bermuara pada soal
komunikasi antarkelompok dan antarindividu. Bagaimana komunikasi bisa berjalan
dan salah pengertian bisa dijamin tidak terjadi jika kita tidak mengetahui
bahasa masing-masing dengan baik?
***
Salah satu yang saya kritisi
adalah paragraf terakhir dalam sub-bab ini, yang kurang menjelaskan
kalimat"bagaimana komunikasi bisa berjalan dan salah pengertian bisa
dijamin tidak terjadi jika kita tidak mengetahui bahasa masing-masing dengan
baik?" sehingga maksudnya ambigu, dan bisa saja orang akan
menjawab:"karena itu, agar lebih mudah, berkomunikasilah dengan satu
bahasa, bahasa pemersatu".
Kalimat tersebut tentu tidak
dapat langsung dimaknai sesederhana itu, karena menurut saya di situ Prof.
Ahimsa-Putra bermaksud merujuk pada konteks bahasa dan cara [pemikiran]
penuturnya memandang hidup, kenyataan, dan lingkungan. Kita ambil contoh yang
cukup dekat, dalam bahasa Indonesia dikenal berbagai macam istilah padi, gabah,
nasi yang dalam bahasa Inggris hanya dikenal sebagai rice. Dalam bahasa Jawa,
istilah ini lebih kaya lagi dengan tambahan sega, upa, dan intip. Barulah
istilah paddykemudian lahir untuk menyesuaikan (mohon koreksinya). Di sini
terlihat perbedaan pada masyarakat Indonesia dan Inggris dalam memandang padi,
gabah, nasi, atau rice tersebut —yang dalam hal ini terkait pada Indonesia
sebagai negara agraris yang mengenal bercocok tanam dengan sistem bersawah,
yang mana hal ini tidak ditemukan di Inggris. Karena perbedaan kebudayaan
(sistem mata pencaharian adalah salah satu unsur kebudayaan, menurut beberapa
pandangan) tersebut, maka sangat tidak mungkin untuk dapat memahami satu sama
lain sepenuhnya hanya dengan satu bahasa.
Semoga sedikit penjelasan ini
dapat membantu atas pengertian terhadap tulisan di atas.
CATATAN: Tulisan ini sedikit
banyak untuk menanggapi tulisan Bahasa Dayak yang Mulai Pudar dan Menuju
Perlindungan Budaya Itah. Tulisan ini juga diterbitkan di blog pribadi saya
dengan judul yang sama.
* petikan tulisan
"Etnolinguistik: Artinya Bagi Indonesia" oleh Prof. Heddy Shri
Ahimsa-Putra, foto oleh antobilang.wordpress.com
Diposting oleh roemah boenga di
19.47 Tidak ada komentar:
Label: KALIMANTAN Tengah
MANDAU, SENJATA KHAS DAYAK
OLEH : BINTANG SUYATNO
Pada jaman dulu jika terjadi
peperangan, suku Dayak pada umumnya menggunakan senjata khas mereka, yaitu
mandau. Mandau merupakan sebuah pusaka yang secara turun-temurun yang digunakan
oleh suku Dayak dan diaanggap sebagai sebuah benda keramat. Selain digunakan
pada saat peperangan mandau juga biasanya dipakai oleh suku Dayak untuk
menemani mereka dalam melakukan kegiatan keseharian mereka, seperti menebas
atau memotong daging, tumbuh-tumbuhan, atau benda-benda lainnya yang perlu
untuk di potong.
www.aconet.cz/npm/exhibitions/asia_kalimantan/pics/10790.jpg
Biasanya orang awam akan sering
kebingungan antara mandau dan ambang. Orang awam atau orang yang tidak terbiasa
melihat atau pun memegang mandau akan sulit untuk membedakan antara mandau
dengan ambang karena jika dilihat secara kasat mata memang keduanya hampir
sama. Tetapi, keduanya sangatlah berbeda. Namun jika kita melihatnya dengan
lebih detail maka akan terlihat perbedaan yang sangat mencolok, yaitu pada
mandau terdapat ukiran atau bertatahkan emas, tembaga, atau perak dan mandau
lebih kuat serta lentur, karena mandau terbuat dari batu gunung yang mengandung
besi dan diolah oleh seorang ahli. Sedangkan ambang hanya terbuat dari besi
biasa, seperti besu per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan atau
batang besi lain.
Mandau atau Ambang Birang Bitang
Pono Ajun Kajau harus disimpan dan dirawat dengan baik ditempat khusus untuk
penghormatan. Karena suku Dayak yakin bahwa mandau memiliki kekuatan spiritual
yang mampu melindungi pemiliknya dari serangan atau niat jahat dari
lawan-lawannya. Dan mandau juga diyakini dijaga oleh seorang perempuan, dan
jika pemilik mandau tersebut bermimpi bertemu dengan perempuan yang menghuni
mandau, berarti sang pemilik akan mendapatkan rejeki.
Mandau selain dibuat dari besi
batuan gunung lalu diukir, pulang atau hulu mandau (tempat untuk memegang)
dibuat berukiran dengan menggunakan tanduk kerbau untuk yang pulang-nya
berwarna hitam. Dan menggunakan tanduk rusa untuk pulang yang berwarna putih.
Pembuatan pulang dapat juga menggunakan kayu kayamihing. Pada bagian ujung dari
pulang diberi atau ditaruh bulu binatang atau rambut manusia. Untuk dapat
melengkatkan sebuah mandau dengan pulang dapat menggunakan getah kayu sambun
yang terbukti sangat kuat kerekatannya.Setelah itu kemudian diikat lagi dengan
jangang, namun jika jangang sulit ditemukan dapat menggunakan uei (anyaman
rotan).
www.valiantco.com/antique/i-0106Mandau.JPG
Besi mantikei yang digunakan
untuk bahan baku pembuatan mandau dapat ditemukan didaerah Kerang Gambir,
sungai Karo Jangkang, sungai Mantikei anak sungai Samba simpangan sungai
Katingan, dan desa Tumbang Atei.
Tidak lengkap kiranya jika mandau
tidak memiliki kumpang. Kumpang ialah sebutan sarung untuk mandau, kumpang
mandau merupakan tampat masuknya mata mandau biasanya dilapisi tanduk rusa.
Pada kumpang mandau diberi tempuser undang, yaitu ikatan yang terbuat dari anyaman
uei (rotan).
Pada bagian depan kumpang dibuat
sebuah sarung kecil tempat menyimpan langgei puai. Langgei puai adalah sejenis
pisau kecil sebagai pelengkap mandau. Tangkainya panjang sekitar 20 cm dari
mata anggei, bentuknya lebih kecil dari pada tangkainya. Fungsi dari langgei
puai adalah untuk menghaluskan atau membersihkan benda-benda, contohnya rotan.
Sarung atau kumpang langgei selalu melekat pada kumpang mandau. Sehingga dapat
dikatakan bahwa antara mandau dan langgei puai adalah sebuah kesatuan yang
tidak dapat terpisahkan.