KERAJAAN TABUKAN
I. Raja Makaampow Bawengehe 1600
– 1620
Putra dari Kulane Tangkuliwutang
dengan permaisuri Nabuisan. Berkedudukan di Sahabe bekas Kerajaan mertunya
Mamata Nusa. Ia memperistrikan ke dua putri dari Raja Mamata Nusa yaitu Timbang
Sehiwu dan Sompo Sehiwu. Makaampow tewas dalam pertempuran pada serangan ke dua
kalinya yang dilakukan oleh pahlawan Hengkeng Unaung dengan satu armada dari
Siau dengan bantuan Pahlawan Ambala dari Tamako. Kekalahannya ini adalah
pengkhianatan pengawalnya bernama Tahapansiang yang penuh kebencian kepada
majikannya sewaktu mereka menjala ikan di Teluk Laine. Suatu malam yang terang
disinari bulan purnama yang tidak diduga-duga ada musuh memasuki Teluk Laine.
Makin lama musuh dari laut makin dekat pantai dimana Makaampow tidak ada persiapan
untuk berperang. Dengan tidak kehilangan akan maka diangkatnya ikan belanak
yang didapatnya ke udara dan karena kena cahaya bulan maka musuh melihat
bagaikan pedang yang disandangnya sehingga musuhnya agak ragu-ragu. Kesempatan
ini dipergunakan oleh budaknya berenang memberitahukan ke musuh untuk menyerang
karena yang diangkat itu bukan pedang melainkan ikan belanak atau gare (dalam
bahasa Sangir). Walaupun Makaampow tidak bersenjata namun kejar mengejar
disepanjang pesisir utara mulai dari teluk Laine sampai teluk Peta dan berakhir
di Tanjung Lapopahe, dimuka negeri Peta Makaampow tewas dalam tangan Ambala. Ia
mati diujung pedang keluarganya dimana Pahlawan Ambala adalah andalan Kulane
Matandatu dibelahan barat sebelum Tamako keluar dari Kerajaan Saluran pada
tahun 1575 dan bergabung dengan Kerajaan Siau. Batu dimana bekas pertempuran
tersebut dinamai Batu Weka dimana pedang Ambala membunuh Makaampow berbekas.
Oleh karena itu timbul nyanyian (sasambo):
“Pili” I Ambala sarang batu weka,
Hengkeng U Naung Limuhum Sebune,
Nanenten bara’ e gare,
Pinahun tika monda’.
Yang artinya dalam bahasa
Indonesia kira-kira demikian :
Parangnya Pahlawan Ambala sampai
batu belah,
Pahlawan Hengkeng Unaung
mengelilingi buihnya,
Mengangkat pedangnya belanak,
Dikiranya pedang…
Kepala Raja Makaampow dibawa
dengan sorak kemenangan ke Siau oleh pahlawan
Hengkeng . Kepala Raja Makaampow
diambil kembali dari Siau oleh Pahlawan Kumale. Oleh
sebab itu ada nyanyian lagi
(sasambo) :
“ Mebua” bo’en Tabukan, benteng
bo’en dinge’e
Tarai sarang Siau, memena’e
Karangetang
Tarai mengala’tembo
masaghiwu’etanggulu
Tembo’ I Ratu Wawengehe’
tanggulu’en Makaampow
Enae’ bawaeng saghenuang sarang
Moade I wentan
Balan Manuwe.
Dalam bahasa Indonesianya
kira-kira adalah demikian :
Berangkat dari Tabukan,
mengangkat kiriman,
Pergi ke Siau, menuju Karangetan,
Pergi mengambil kepala, membawa
tengkorak,
Kepala Raja Bawenghe,
tengkoraknya Makaampow,
Dibawa ke Saluran (Meade’)
dikubur di Manuwe.
Namun keduluan dibawa oleh Ambala
dibawaa ke Mengga’e dan dikubur di sana yang
sekarang ini dikenal dengan
Menggawa.
Mulai peristiwa tersebut maka
hubungan Tabukan dan Siau mulai tegang.
II. Raja Wuaten Semba Yudha I
1620 – 1665
Putra Raja Makaampow dari
permaisuri Timbang Sehiwu.
III. Raja Ghama Vasco da Gama
Gaman Banua 1665 – 1670
Putra Raja Wuaten Semba Yudha I
dengan permaisuri Taskea dari Tagulandang. Dalam pemerintahan Raja Ghama
wilayah kerajaannya di Talaud, pulau Salengkor dan Kabaruan diberikan kepada
cucunya Maimuna yang menjadi permaisuri Raja Batahi dari Siau.
IV. Raja Fransisco Makaampow
Yudha II 1670 – 1700
Putra dari Raja Ghama dengan
permaisuri Uhentinendeng putrid dari Raja Tatohe dari Kerajaan Tahuna. Wilayah
kerajaannya pulau-pulau disebelah Selatan, Kahakitan Para, Manongetan,
diberikan kepada putrinya Maimuna yang menjadi permaisuri Raja Batahi dari
Siau. Hubungan antara Tabukan dan Siau mulai membaik. Setelah melahirkan putra
Rarame Nusa maka hubungan antara Tabukan dan Siau pulih kembali. Oleh karena
itu arti Rarame Nusa adalah pendamai Nusa.
V. Raja Dalero 1700 – 1720
Putra dari Raja Yudha II dengan
permaisuri Dolontengo putri Raja Palango dari Tagulandang.
VI. Raja Mehengkelangi 1720 –
1745
Saudara dari Raja Dalero
VII. Raja Karula 1745 – 1770
Putra dari Raja Mehengkelangi
dengan permaisuri Belisehiwu dari Tagulandang.
VIII. Raja Sani 1770 – 1795
Putra Jogugu Bulega Langi dengan
permaisuri Punsangiang putri Jogugu Wakari Sulung. Keturunan beliau tidak ada
yang menjadi Raja sedangkan ada putrinya bernama Tarumensah tetapi meninggal
waktu masih kecil. Oleh sebab itu Tabukan mengangkat putra Raja Manulung
Pansage dari Taruna bernama Paparang Paha Wuaten dari Taruna. Paparang Wuaten
adalah cucu Jogugu Takaulimang dari Tabukan, saudara Raja Fransisco Makaampow
Judha I.
IX. Raja Julius Hendrik David
Paparang Paha Wuaten 1795 – 1820
Putra Raja Manulung Bansage dari
Taruna dengan Permaisuri Murusilang putri Raja Lohontundali dari Siau.
X. Raja Laudagima Paparang 1820 –
1875
Putra Raja Julius H. David Paparang
dengan permaisuri Hote Wulaeng putri Raja Ismail Jacobus Mehengkelangi dari
Siau.
XI. Raja Webesan Ignatius Nicolas
Paparang 1875 – 1880
Putra Raja Laudagima Paparang
dengan permaisuri Sirang.
XII. Raja Kumuku Antonius David
Paparang 1880 – 1900
Putra Raja Webesan Paparang
dengan permaisuri Lawewe putri Raja Tampungan dari Manganitu.
XIII. Presiden Raja Siri Darea
1900 – 1908
XIV. Raja Papukule David Sarapil
1908 – 1924
Putra Jogugu Pameras dengan
permaisuri Hadinda. Pada jaman pemerintahan beliau Amerika mengklaim pulau
Miangas pada Belanda pada tahun 1912. Dengan tiga buah kapal perangnya Amerika
menduduki pulau Miangas dan menurunkan bendera Belanda di pulau itu. Alasan
Amerika bahwa pulau Miangas adalah wilayah Philipina karena berada tidak jauh
dari pantai Mindanao. Dalam peristiwa tersebut ke dua pihak mengerahkan kapal
perang masing-masing dan silih berganti menduduki pulau itu. Namun ke unggulan
berada di pihak Amerika sehingga Amerika menduduki pulau Miangas. Pusat
pemerintahan Belanda di Makasar tidak dapat berbuat apa-apa karena tidak ada
sesuatu dokumen yang menjadi dasar baginya karena Belanda merebut pulau-pulau
Sangir dengan kekerasan, maka tentunya Amerika pun dapat berbuat demikian
terhadap Belanda. Setelah Raja Papukule David Sarapil melihat bahwa Belanda
tidak mempunyai kemampuan dalam perampasan Miangas, maka beliau memberikan
peringatan kepada pemerintah Belanda baik di Makasar maupun Menado agar tidak
mencampuri penyelesaian pulau Miangas yang telah diduduki oleh Amerika. Kerajaan
Tabukan dapat menyelesaikan berdasarkan fakta-fakta sejarah. Beliau
memerintahkan dua orang ahli sejarah kerajaan Tabukan Hendrik Makaminan dan
Zakarias Adipati. Hendrik Makaminan diperintahkan ke kampung Sahabe (ex
Kerajaan Pahawon Seke) dan Zakarias Adipati diperintahkan ke Saluran (ex
Kerajaan Bulega Langi). Hendrik Makaminan mendapatkan lima dokumen dari sejarah
Kerajaan Sahabe, sedangkan Zakarias Adipati mendapatkan tujuh dokumen dari
sejarah Kerajaan Saluran. Setelah ke duabelas dokumen terkumpul dari dua ex
kerajaan itu maka Raja Papukule David Sarapil mengutus Zakarias Adipati dengan
satu surat mandat dari Raja untuk menemui Perwira yang menjadi Komandan
Pendudukan di pulau Miangas. Raja Sarapil mengirimkan permintaan ke Makasar
melalui Menado agar dikirimkan kapal Tujuh ke Tabukan untuk dipakai oleh utusan
Tabukan dalam perundingan dengan Amerika di pulau Miangas. Permintaan ini
dipenuhi oleh Belanda dan kapal Tujuh / Zeven Provincio dikirim ke Tabukan.
Dengan menaiki kapal Zeven Provincio , Zakarias Adipati selaku utusan Tabukan
dengan didampingi Kontrolur Lemanz de Ryter berangkat ke Miangas. Mendekati
pulau Miangas kapal Zeven Provincio bertemu dengan tiga buah kapal perang
Amerika yang mengadakan patroli. Mulut-mulut meriam Amerika diarahakan ke kapal
Zeven P disertai pertanyaan-pertanyaan melalui sein lampu / morse. Setelah
Kapal Zeven P menjawab pertanyaan itu dengan maksud untuk merundingkan wilayah
dengan cara damai, maka diijinkan masuk dengan dikawal tiga buah kapal perang
itu. Utusan Kerajaan Tabukan dipersilahkan turun ke darat dan diadakan
perundingan dengan Perwira Amerika yang menjadi komandannya. Dalam pertemuan
tersebut komandan pendudukan memberikan dasar hukumnya mengenai alasan
pendudukan pulau itu, bahwa pulau Miangas termasuk wilayah Philipina bukan
wilayah Hindia Belanda (waktu itu) karena letaknya di wilayah pantai Mindanao
yang menjadi wilayah Amerika. Oleh karena itu hak kedaulatan pulau itu adalah
hak Amerika. Dalam balasannya mengenai penjelasan Perwira tersebut, maka dijawab
oleh Zakarias Adipati bahwa Amerika benar menurut letaknya dalam wilayah
Mindanao tetapi karena Kerajaan Tabukan berpegang dari hak sejarah bahwa sejak
700 tahun lalu bahwa pulau ini adalah batas kerajaan moyang Gumansalangi
Medellu dengan kerajaan Mindanao disebelah Utara dan ada faktanya berupa
dokumen tua yang sudah dibawanya dan oleh sebab itu pulau Miangas adalah mutlak
hak dari Kerajaan Tabukan. Untuk memperkuat keterangannya lagi bahwa sebelumnya
pulau ini namanya bukan miangas tetapi Pekilateng (Kilat) yang menjadi satu
titik tanda dalam pelayaran di jaman purba ke jurusan utara. Kata Miangas
adalah berasal dari Mana Ese yang berarti hanya lelaki, dimana ditemui oleh
pahlawan Arare Kenda pada waktu menginjakkan kakinya pertama kali dipulau itu ,
penghuninya semua adalah lelaki atau laki-laki. Lama kelamaan Mang Ese menjadi
Miangas. Pada jaman pendudukan Belanda pulau Miangas disebut Palmas. Nama ini
diberikan oleh Belanda sebagai 1 peringatan pada pertama kalinya Presiden
Menado bernama Elama mengunjungi pulau itu. Namun yang jelas Pulau Miangas
termasuk dalam keluarga kerajaan Tabukan. Dengan fakta-fakta yang tidak dapat
dibantah oleh Amerika, maka Amerika mengalah dan berangkat meninggalkan
Miangas. Bendera Belanda berkibar lagi di pulau Miangas yang tadinya sudah
dirobek-robek oleh Amerika dan Lambang Singa yang telah dibuang ke laut berdiri
lagi di pulau Miangas. Zakarias Adipati dan Lemans de Ryter pulang ke Tabukan
dengan kemenangan diplomasi setelah bersilat lidah dengan sang komandan. Setelah
insiden perbatasan tersbut makan Volkenbend segera bersidang pada tahun 1914
dan mensyahkan pulau Miangas adalah mutlak wilayah Hindia Belanda yang hingga
saat ini pulau tersebut menjadi perbatasan antara Negara tetangga Philipina dan
Negara Republik Indonesia dan menjadi hak mutlak NKRI.
XV. Raja Kahendake Willem Sarapil
1924 – 1929
Putra dari Raja P. David Sarapil
dengan permaisuri Rachel. Pada jaman pemerintahan ayahnya maka pusat
pemerintahan yang berkedudukan di Tabukan Lama ( Sea Tebe ) dipindahkan ke
Enemawira pada tahun 1912. Pada tahun 1929 beliau dibuang oleh Belanda ke
Kolonodale Sulawesi Tengah. Sama halnya dengan Raja Lodewyk Kansil yang menjadi
ipar Raja K. Willem Sarapil dimana Belanda mulai meluncurkan politik
penyingkiran terhadap Raja-raja yang mempunyai pendidikan. Beliau kembali ke
Tabukan setelah Jepang kalah perang pada tahun 1945. Selama Negara Indonesia
Timur berdiri maka beliau menjadi Ketua Senat dalam Negara Indonesia Timur.
Setelah Negara Indonesia Timur buatan Belanda bubar pada tahun 1950. Pada tahun
1952 dengan keputusan pemerintah RI maka beliau ditetapkan sebagai konsul RI
Pertama di Davao. Tetapi Tuhan menetapkan lain dan pada tahun 1952 beliau jatuh
sakit setelah kembali dari Jakarta dan tidak sempat menduduki jabatan yang
dibebankan kepadanya. Beliau wafat pada tahun 1952.
XVI. Raja Levinus Johannis Macpal
1929 – 1942
Putra Jogugu Rindu Macpal dari
Menalu dengan permaisuri Rachel Patras Tenteng dari Taruna. Raja Macpal adalah
Raja terakhir dari Kerajaan Tabukan. Beliau dibinasakan oleh penguasa Jepang
setelah mendapat siksaan yang berat di penjara Taruna bersama adiknya Karel
Macpal Jogugu Menalu dan dipancung oleh Jepang pada tahun 1942. Jenasah ke 2
bersaudara dimakamkan di Bungalawang Tahuna bersama korban lainnya yang
mengalami nasib yang sama pada waktu itu.
Demikianlah sejarah Kerajaan
Tabukan sejak berdiri sejak jaman Raja Makaampow Bawengehe mulai tahun 1600 –
1942.